Hidup
tak selamanya soal kenikmatan, karena banyak orang berkata bahwa dunia
seperti roda-roda yang berputar, terkadang ia di atas atau di bawah.
Seiring
berjalan untuk menyusuri lembar-lembar cerita yang telah ditulis oleh
Tuhan dengan sedemikian rupa, dengan keanekaragaman nasib; baik, buruk,
suka, duka. Dengan segala keterpaksaan agar dapat merubahnya menjadi
lebih mudah, dan yakin bahwa kita tidak hanya sekadar menjalani hidup.
Bahkan
terkadang anak-anak kecil yang seharusnya ada di pangkuan ibu yang
penuh kisah serta kasih sayang berlimpah lagi tanpa pamrih, mereka harus
bergelut dengan kesia-siaan dunia, kerusakan, dan sebagainya.
Harapan
demi harapan yang mereka harapkan, sampai akhirnya mereka harus rela
berdiri menahan lapar yang akut, juga haus yang kronis, di tempat
perhentian sementara yang biasa kita sebut dengan lampu merah. Lampu
merah adalah satu-satunya tempat di mana mereka mencari jati diri, di
mana mereka menghidupi jiwa, serta memberi nutrisi mental yang mereka
bentuk sangat keras.
Sebuah lirikan sinis orang-orang di sekitar saja mungkin bisa sangat disyukuri oleh mereka, dan berkata bahwa Tuhan cukup adil karena telah membuat orang-orang tersebut peduli.
Senyum
mereka bahkan lebih tulus dari belaian tangan ibu, meski keterpaksaan
ada pada hati kecil mereka namun tetap itulah keihklasan, sebab mereka
tetap bertahan dalam peran.
Waktu
tak selamanya bersama, menemani, menghidupi, mengingatkan, juga
memberikan peringatan. Ada saat di mana kita mengakhiri persahabatan
paling utuh tersebut dengan dipisahkan maut, yang mana Tuhan telah
kehabisan kata-kata untuk bercerita.
Hari
ini waktu masih setia mendampingimu, memberikan nasihat paling penting
ketika sang usia mulai renta, ketika raga mulai rindu dengan keadaan
awal, yaitu menjadi tanah. Gunakan hidup seindah mungkin meski tak akan
adanya kesempurnaan. Teruslah, bersyukur.